Masjid Agung
Palembang bagian dari peninggalan Kesultanan Palembang Darussalam, dan menjadi
salah satu masjid tertua di Kota Palembang. Masjid ini berada di utara Istana
Kesultanan Palembang, di belakang Benteng Kuto Besak yang berdekatan dengan
aliran sungai Musi. Secara administratif, masjid ini berada di Kelurahan 19
Ilir, Kecamatan Ilir Barat I, tepat di pertemuan Jalan Merdeka dan Jalan
Sudirman, pusat Kota Palembang.
Masjid Agung
Palembang mulai dibangun pada tahun 1738 oleh Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo
Wikramo. Pembangunan berlangsung selama 10 tahun dan resmi digunakan sebagai
tempat peribadatan umat muslim Palembang pada tanggal 28 Jumadil Awal 1161 H
atau 26 Mei 1748 M.
Awalnya
masjid ini bernama Masjid Sultan, dan belum memiliki menara. Bentuk masjid
hampir bujursangkar, memiliki ukuran 30 meter x 36 meter. Dengan luas mencapai
1080 meter persegi, konon, Masjid Sultan merupakan masjid terbesar di nusantara
yang mampu menampung 1200 jema’ah.
Masjid
Sultan dirancang oleh seorang arsitek dari Eropa. Konsep bangunan masjid
memadukan keunikan arsitektur Nusantara, Eropa dan Cina. Gaya khas arsitektur
Nusantara adalah pola struktur bangunan utama berundak tiga dengan puncaknya
berbentuk limas. Undakan ketiga yang menjadi puncak masjid atau mustaka memiliki
jenjang berukiran bunga tropis. Pada bagian ujung mustaka terdapat mustika
berpola bunga merekah. Bentuk undakan bangunan masjid dipengaruhi bangunan
dasar candi Hindu-Jawa, yang kemudian diserap Masjid Agung Demak.
Atap masjid
berbentuk limas, terdiri dari tiga tingkat. Pada bagian atas sisi limas atap
terdapat jurai daun simbar menyerupai tanduk kambing yang melengkung. Setiap
sisi limas memiliki 13 jurai. Bentuk jurai melengkung dan lancip. Rupa ini
merupakan bentuk atap kelenteng Cina. Ciri khas arsitektur Eropa terdapat pada
rupa jendela masjid yang besar dan tinggi. Pilar masjid berukuran besar dan
memberi kesan kokoh. Material bangunan seperti marmer dan kaca diimpor langsung
dari Eropa.
Pada masa
pemerintahan Sultan Ahmad Najamudin (masa pemerintahan 1758–1774) menara masjid
dibangun. Lokasi menara masjid terpisah dari bangunan utama, dan berada di
bagian barat. Pola menara masjid berbentuk segi enam setinggi 20 meter. Rupa
menara masjid menyerupai menara kelenteng. Bentuk atap menara melengkung pada
bagian ujungnya, dan beratap genteng. Menara masjid memiliki teras berpagar
yang mengelilingi bangunan menara.
Pada tahun
1819 dan 1821 dilakukan pemugaran masjid akibat peperangan besar yang
berlangsung selama lima hari berturut-turut. Perbaikan masjid dilakukan oleh
pemerintah Hindia Belanda. Atap genteng menara masjid diganti atap sirap.
Tinggi menara ditambahkan dengan adanya beranda melingkar.
Usia satu
abad Masjid Sultan, yakni pada tahun 1848, dilakukan perluasan bangunan oleh
pemerintah Hindia Belanda. Gaya tradisional Gerbang Utama masjid diubah menjadi
Doric style. Pada tahun 1879, serambi Gerbang Utama masjid diperluas dengan
tambahan tiang beton bulat. Rupa serambi Gerbang Utama menyerupai pendopo,
namun bergaya kolonial.
Perluasan
pertama Masjid Sultan dilaksanakan pada tahun 1897 oleh Pangeran Nata Agama
Karta Manggala Mustofa Ibnu Raden Kamaluddin. Lahan yang dijadikan areal
kawasan masjid merupakan wakaf dari Sayyid Umar bin Muhammad Assegaf Althoha
dan Sayyid Achmad bin Syech Shahab. Kemudian nama Masjid Sultan diubah menjadi
Masjid Agung.
Perbaikan
dan perluasan masjid dilakukan kembali pada tahun 1893. Pada tahun 1916
bangunan menara masjid disempurnakan. Kemudian pada tahun 1930, dilakukan
perubahan struktur pilar masjid. Yakni menambah jarak pilar dengan atap menjadi
4 meter.
Pada kurun
tahun 1966-1969 dibangun lantai kedua. Luas mesjid menjadi 5.520 meter persegi
dengan daya tampung 7.750 jema’ah. Pada tanggal 22 Januari 1970 dimulai
pembangunan menara baru yang disponsori oleh Pertamina. Menara baru ini
setinggi 45 meter, mendampingi menara asli bergaya Cina. Renovasi Masjid Agung
diresmikan pada tanggal 1 Februari 1971.
Sejak tahun
2000, Masjid Agung dilakukan renovasi kembali, dan selesai pada tanggal 16 Juni
2003 bertepatan dengan peresmiaannya oleh Presiden RI Hj. Megawati Soekarno
Putri. Masjid Agung Palembang yang megah dan berdiri kokoh kini mampu menampung
9000 jama’ah.
Arsitektur
Masjid Agung dan masjid tua lainnya di Palembang secara simbolik memiliki nilai
filosofis yang tinggi. Undakan pelataran masjid dan tingkatan atap yang
berjumlah tiga memberi makna perjalanan manusia untuk mendekatkan diri kepada
Allah SWT. Hamka (1961) menafsirkan atap tumpang sebagai berikut: Tingkat
pertama melambangkan Syariah serta amal perbuatan manusia. Tingkat kedua
melambangkan Thariqat yaitu jalan untuk mencapai ridlo Allah SWT. Atap
tingkat ke tiga melambangkan Hakikat, yaitu ruh atau hakekat amal
perbuatan seseorang. Sedangkan Puncak (Mustoko) melambangkan Ma’rifat,
yaitu tingkat mengenal Tuhan Yang Maha Tinggi.
Dalam
sejarahnya, masjid yang berada di pusat Kesultanan Palembang Darussalam menjadi
pusat kajian Islam yang telah melahirkan sejumlah ulama besar. Syekh Abdus
Shamad al-Palembani, Kemas Fachruddin, dan Syihabuddin bin Abdullah, adalah
beberapa ulama yang pernah menjadi Imam Besar Masjid Agung. Peran para ulama
ini sangat besar dalam mengembangkan agama Islam di wilayah Kesultanan
Palembang. Konsep pengajaran Islam diturunkan kedalam lingkup amal (praktik)
dan ilmu (wacana), sehingga mudah diterima dan diamalkan oleh masyarakat muslim
Palembang.
Masjid Agung
Palembang menyimpan kenangan tak terlupakan sepanjang masa. Ia menjadi saksi
atas sejarah perjuangan rakyat Palembang pada pertempuran selama lima hari
melawan Belanda di pusat kota. Pertempuran bermula pada tanggal 1 Januari 1947.
Pejuang Republik awalnya menyerang RS Charitas. Keesokan harinya tentara
Belanda membalas serangan dengan kekuatan penuh menuju pusat komando pejuang
Republik yang berada di Masjid Agung Palembang. Batalyon Geni merapatkan
barisan bersama berbagai tokoh masyarakat demi mempertahankan masjid dari
kehancuran. Pejuang Republik berhasil bertahan, tentara Belanda mundur akibat
kekurangan pasokan. Pada saat yang bersamaan bantuan pasukan Belanda yang datang
dari Talangbetutu berhasil dihadang oleh pasukan Republik dibawah pimpinan
Letnan Satu Wahid Luddien.
Belanda
melancarkan kembali serangan pada hari ketiga. Kekuatan mereka lebih besar,
mendapat dukungan serangan udara dari pesawat – pesawat Mustang untuk meluluhlantakkan
kota Palembang. Namun upaya mereka gagal, kememangan kembali diraih setelah
pasukan Ki.III/34 berhasil menenggelamkan satu kapal Belanda yang penuh dengan
mesiu, meskipun harus menelan korban banyak akibat bombardir serangan udara
pesawat Mustang Belanda.
Pada hari
keempat, bantuan pasukan Republik yang akan bergabung di Masjid Agung Palembang
dihadang pasukan Belanda di wilayah sekitar Simpang Empat BPM, Sekanak dan
Kantor Karesidenan.
Pertempuran
berlanjut hingga hari kelima. Kekuatan Belanda langsung menuju jantung
pertahanan pasukan Republik, Masjid Agung Palembang. Pertempuran sengit
terjadi, pasukan Mobrig pimpinan Inspektur Wagiman dengan bantuan Batalyon Geni
mampu mempertahankan garis pertahanan sehingga pasukan Belanda gagal merangsek.
Setelah melewati lima hari pertempuran yang melelahkan, pihak Belanda
menyatakan mundur. Disepakati perjanjian Cease Fire oleh kedua belak
pihak. Perjanjian ini menandakan berakhirnya pendudukan Belanda dari wilayah
kota Palembang.
Masjid yang menjadi kebanggaan kota Palembang ini menjadi perlambang sebuah
semangat perjuangan rakyat dalam mempertahanan hak hidup, hak menentukan nasib
sendiri dan hak merdeka sebagai manusia seutuhnya. Seiring gema adzan yang
mengalun di antara menara-menara besarnya, masjid ini tetap kokoh menjaga umat
muslim dari sebuah ketertindasan.
Masjid Agung Palembang merupakan salah satu
peninggalan Kesultanan Palembang. Masjid ini didirikan oleh Sultan Mahmud
Badaruddin I atau Sultan Mahmud Badaruddin Jaya Wikramo mulai tahun 1738 sampai
1748. Konon masjid ini merupakan bangunan masjid terbesar di Nusantara pada
saat itu.
Masjid Agung Palembang pada mulanya disebut Masjid Sultan dan dibangun pada tahun 1738 oleh Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo. Peresmian pemakaian masjid ini dilakukan pada tanggal 28 Jumadil Awal 1151 H (26 Mei 1748). Ukuran bangunan mesjid waktu pertama dibangun semula seluas 1080 meter persegi dengan daya tampung 1200 jemaah. Perluasan pertama dilakukan dengan wakaf Sayid Umar bin Muhammad Assegaf Altoha dan Sayid Achmad bin Syech Sahab yang dilaksanakan pada tahun 1897 dibawah pimpinan Pangeran Nataagama Karta mangala Mustafa Ibnu Raden Kamaluddin.
Pada awal pembangunannya (1738-1748), sebagaimana masjid-masjid tua di Indonesia, Mesjid Sultan ini pada awalnya tidak mempunyai menara. Kemudian pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Najamudin (1758-1774) barulah dibangun menara yang letaknya agak terpisah di sebelah barat. Bentuk menaranya seperti pada menara bangunan kelenteng dengan bentuk atapnya berujung melengkung. Pada bagian luar badan menara terdapat teras berpagar yang mengelilingi bagian badan.
Bentuk masjid yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Agung, jauh berbeda tidak seperti yang kita lihat sekarang. Bentuk yang sekarang ini telah mengalami berkali-kali perombakan dan perluasan. Pada mulanya perbaikan dilakukan oleh pemerintah Belanda setelah terjadi perang besar tahun 1819 dan 1821. Setelah dilakukan perbaikan kemudian dilakukan penambahan/perluasan pada tahun 1893, 1916, 1950-an, 1970-an, dan terakhir pada tahun 1990-an. Pada pekerjaan renovasi dan pembangunan tahun 1970-an oleh Pertamina, dilakukan juga pembangunan menara sehingga mencapai bentuknya yang sekarang. Menara asli dengan atapnya yang bergaya Cina tidak dirobohkan.
Perluasan kedua kali pada tahun 1930. tahun 1952 dilakukan lagi perluasan oleh Yayasan Masjid Agung yang pada tahun 1966-1969 membangun tambahan lantai kedua sehingga luas mesjid sampai sekarang 5520 meter persegi dengan daya tampung 7.750.
Masjid Agung Palembang pada mulanya disebut Masjid Sultan dan dibangun pada tahun 1738 oleh Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo. Peresmian pemakaian masjid ini dilakukan pada tanggal 28 Jumadil Awal 1151 H (26 Mei 1748). Ukuran bangunan mesjid waktu pertama dibangun semula seluas 1080 meter persegi dengan daya tampung 1200 jemaah. Perluasan pertama dilakukan dengan wakaf Sayid Umar bin Muhammad Assegaf Altoha dan Sayid Achmad bin Syech Sahab yang dilaksanakan pada tahun 1897 dibawah pimpinan Pangeran Nataagama Karta mangala Mustafa Ibnu Raden Kamaluddin.
Pada awal pembangunannya (1738-1748), sebagaimana masjid-masjid tua di Indonesia, Mesjid Sultan ini pada awalnya tidak mempunyai menara. Kemudian pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Najamudin (1758-1774) barulah dibangun menara yang letaknya agak terpisah di sebelah barat. Bentuk menaranya seperti pada menara bangunan kelenteng dengan bentuk atapnya berujung melengkung. Pada bagian luar badan menara terdapat teras berpagar yang mengelilingi bagian badan.
Bentuk masjid yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Agung, jauh berbeda tidak seperti yang kita lihat sekarang. Bentuk yang sekarang ini telah mengalami berkali-kali perombakan dan perluasan. Pada mulanya perbaikan dilakukan oleh pemerintah Belanda setelah terjadi perang besar tahun 1819 dan 1821. Setelah dilakukan perbaikan kemudian dilakukan penambahan/perluasan pada tahun 1893, 1916, 1950-an, 1970-an, dan terakhir pada tahun 1990-an. Pada pekerjaan renovasi dan pembangunan tahun 1970-an oleh Pertamina, dilakukan juga pembangunan menara sehingga mencapai bentuknya yang sekarang. Menara asli dengan atapnya yang bergaya Cina tidak dirobohkan.
Perluasan kedua kali pada tahun 1930. tahun 1952 dilakukan lagi perluasan oleh Yayasan Masjid Agung yang pada tahun 1966-1969 membangun tambahan lantai kedua sehingga luas mesjid sampai sekarang 5520 meter persegi dengan daya tampung 7.750.
Masjid Agung
merupakan masjid tua dan sangat penting dalam sejarah Palembang. Masjid yang
berusia sekitar 259 tahun itu terletak di Kelurahan 19 Ilir, Kecamatan Ilir
Barat I, tepat di pertemuan antara Jalan Merdeka dan Jalan Sudirman, pusat Kota
Palembang. Tak jauh dari situ, ada Jembatan Ampera. Masjid dan jembatan itu
telah menjadi land mark kota hingga sekarang.
Dalam sejarahnya, masjid yang berada di pusat kerajaan
itu menjadi pusat kajian Islam yang melahirkan sejumlah ulama penting pada
zamannya. Syekh Abdus Samad al-Palembani, Kemas Fachruddin, dan Syihabuddin bin
Abdullah adalah beberapa ulama yang berkecimpung di masjid itu dan memiliki
peran penting dalam praksis dan wacana Islam.
Sebagai kota yang penduduknya mayoritas Islam, Masjid Agung Palembang memang merupakan sentral utama sebagai tempat ibadah. Terlebih, letaknya di pusat kota, berhadapan langsung dengan Jembatan Ampera, berseberangan dengan Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera) dan berdampingan dengan Air Mancur, yang merupakan titik nol Kota Palembang.
Karena itu, setiap tahun saat Idul Fitri maupun Idul Adha belasan ribu umat Islam memadati masjid dan jalan sekitarnya untuk melaksanakan salat Id. Bahkan, sampai ke atas Jembatan Ampera pun padat oleh umat Islam.
Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari Sekretaris Yayasan Masjid Agung, Sukri Ibnu Soha, bangunan Masjid Agung Palembang pertama kali berukuran 30 x 36 m dengan bentuk empat persegi.
Keempat sisi bangunan ini terdapat empat penampilan yang berfungsi sebagai pintu masuk, kecuali di bagian barat yang merupakan mihrab. Atapnya tiga tingkat dengan ujungnya berbentuk kelopak bunga.
Arsitektur masjid ini merupakan perpaduan barat dan timur. Setiap bagian ujung bawah atap tengah mencuat keluar menengadah ke atas, mirip dengan arsitektur pagoda bangunan China. Masjid ini memiliki serambi (teras depan) dengan arsitektur klasik Yunani-Dorik seperti yang terdapat di depan kuil Yunani, tetapi dengan hiasan kaligrafi Arab tentunya.
Masjid Sultan
Karena dibangun oleh sultan, Masjid Agung Palembang pada mulanya disebut Masjid Sultan. Peresmian pemakaian masjid ini dilakukan pada 28 Jumadil Awal 1151 H (26 Mei 1748). Masjid yang mempunyai arsitektur yang khas dengan atap limasnya ini, konon merupakan bangunan masjid yang terbesar di Nusantara kala itu.
Arsiteknya orang Eropa dan beberapa bahan bangunannya seperti marmer dan kacanya diimpor dari luar Nusantara. Kala itu daerah pengekspor marmer adalah Eropa. Pada awal pembangunannya (1738-1748), sebagaimana masjid-masjid tua di Indonesia, Masjid Sultan ini pada awalnya tidak mempunyai menara.
Baru pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Najamudin (1758-1774) dibangun menara yang letaknya agak terpisah di sebelah barat. Bentuk menaranya seperti pada menara bangunan kelenteng dengan atapnya berujung melengkung. Pada bagian luar badan menara terdapat teras berpagar yang mengelilingi bagian badan.
Bentuk yang sekarang ini telah mengalami berkali-kali perombakan dan perluasan. Pada mulanya perbaikan dilakukan oleh pemerintah Belanda setelah terjadi perang besar tahun 1819 dan 1821. Setelah dilakukan perbaikan kemudian penambahan/perluasan pada 1893, 1916, 1950-an, 1970-an, dan terakhir pada 1990-an.
Pada pekerjaan renovasi dan pembangunan tahun 1970-an oleh Pertamina, dilakukan juga pembangunan menara sehingga mencapai bentuknya yang sekarang. Menara asli dengan atapnya yang bergaya China tidak dirobohkan.
Perluasan kedua kali dilakukan pada 1930 dan di tahun 1952 dilakukan lagi perluasan oleh Yayasan Masjid Agung. Tahun 1966-1969 dibangun tambahan lantai kedua sehingga luas masjid menjadi 5.520 meter persegi dengan daya tampung 7.750 jemaah.
Pada 1999 dilakukan perombakan dan perluasan Masjid Agung saat pemerintahan Gubernur Sumsel H Rosihan Arsyad. Masjid ini mampu menampung 9.000 jemaah dengan ukuran masjid 42 x 54 meter. Bila ditambah dengan kapasitas halaman masjid maka secara keseluruhan Masjid Agung Palembang bisa menampung 15.000 jemaah.
Bangunan utama masjid ini merupakan tempat imam dan khotib menyampaikan khotbahnya. Di ruangan ini terdapat empat tiang penyangga besar dan 14 tiang penyangga kecil.
Sayang, mihrabnya kini telah berganti. Keberadaan mihrab aslinya tidak jelas. Begitu juga tempat azan dikumandangkan setinggi sekitar 2 meter tak digunakan lagi.
Alquran Raksasa
Wisatawan yang berkunjung ke masjid ini akan melihat tempat memberikan sumbangan peninggalan zaman Belanda, Brievenbus. Ada juga penunjuk waktu salat manual menggunakan matahari di bagian luar ruangan utama. Alatnya masih berdiri, meskipun tak digunakan lagi.
”Dahulu, waktu salat di masjid ini ditentukan para ulama dengan melihat jam manual tersebut. Namun sekarang sudah tersedia jam digital penunjuk waktu salat,” kata Sukri Ibnu Soha.
Di masjid ini, tepatnya di lantai III, terdapat Alquran raksasa dan perpustakaan Islam. Pembuatan Alquran raksasa ini digagas Sofwatillah Mozaib, saat ini menjadi anggota DPR.
Alquran ini terbuat dari kayu tembesu (fagraea.spp) ukurannya tidak main-main, tebal keseluruhannya termasuk cover mencapai 9 meter. Dengan ukuran halamannya, 177 x 140 x 2,5 cm.
Setidaknya 40 meter kubik kayu tembesu dihabiskan untuk membuat Alquran ini dan hampir Rp 1 miliar dihabiskan untuk menyelesaikan proyek ini. Setiap tepi lembar Alquran raksasa itu dihiasi dengan ukiran ornamen khas Palembang.
Tradisi yang Hilang
Dulu, di masjid ini ada tradisi unik, yakni penyediaan buka bersama. Buka bersama ini disajikan dalam dulang (nampan terbuat dari papan) lengkap dengan lauk-pauknya.
Masing-masing dulang dikelilingi 5-6 orang. Buka bersama pun benar-benar dinikmati secara bersama-sama dari satu dulang. ”Setiap harinya, disiapkan buka bersama untuk 500 orang. Makanannya dimasak oleh pengelola masjid ditambah sumbangan dari masyarakat lainnya,” tambah Sukri Ibnu Soha.
Namun, sekarang tradisi buka dengan dulang ini tidak ada lagi; yang ada adalah disiapkan buka bersama sebanyak 500 nasi bungkus. Biasanya, disiapkan 400 nasi bungkus ditambah sumbangan dari masyarakat lainnya.
Selain itu, siraman rohani selalu disampaikan seminggu dua kali oleh Al ustaz KH Zen Sukri saban Selasa. Hari-hari lainnya bergantian oleh ulama seperti KH A Nawawi Dencik Al Hafiz dan Abul Hasan Ali Umar Thayib.
2 komentar:
Masjid Agung Palembang merupakan tempat pariwisata religi sekaligus menjadi bagian dari sejarah masyarakat palembang pada khusunya dan indonesia pada umumnya. Oleh sebab itu pariwisata palembang yang satu ini harus kita jaga keutuhannya.
Subhanallah Indahnya Masjid AgungSemoga selalu berdiri kokoh
Posting Komentar