Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Sabokingking, Makam Raja Kerajaan Palembang



coba
03.08.2011 19:14:23 WIB
Oleh Putra Kurusetra

MAKAM Sabokingking, merupakan pemakaman raja-raja kerajaan Islam Palembang yang telah berusia 400 tahun lebih. Seperti makam Pangeran Sido Ing Kenayan dan istrinya Ratu Sihuhun, Sido Ing Pasaeran atau Jamaluddin Mangkurat I (1630-1652), serta Pangeran Ki Bodrowongso yang pernah hidup berkisar tahun 1622-1635 Masehi. Makam ini terletak di Sei-Buah, Ilir Timur II, Palembang.

Letak pemakaman ini tidak jauh dari dari kompleks pemakaman kakek Ratu Sinuhun yakni pemakaman Ki Gede Ing Suro, di lorong Haji Umar, di 1 Ilir Palembang. Pemakaman Sabokingking dikelilingi oleh kolam, sehingga terdapat sebuah jalan menuju pemakaman yang membelah kolam.

Di bawah pemerintahan Sido Ing Kenayan, Ratu Sinuhun mampu melahirkan kitab Undang-undang "Simbur Cahaya" yang merupakan hukum adat tertulis dan berlaku di seluruh wilayah Palembang (baca Sumatera Selatan) saat itu. Kitab ini mengatur soal hak-hak perempuan, serta aturan mengenai
lingkungan hidup, khususnya hutan.

Di pemakaman ini juga terdapat makam Al Habib Al Arif Billah Umar bin Muhammad Al Idrus bin Shahab, sebagai imam kubur Pangeran Sido Ing Kenayan dan Ratu Sinuhun, serta Panglima Kiai Kibagus Abdurrachman.

Di sekitar pemakaman para raja Palembang ini juga terdapat pemakaman umum, yang diperuntukkan bagi penduduk di sekitar daerah tersebut. Letaknya di seberang kolam atau tidak setanah dengan pemakaman Sabokingking.

Menuju ke pemakaman ini terdapat dua jalan, yakni Jalan Sabokingking dan Jalan Arafuru. Semua jalan dapat dilalui sepeda motor dan mobil. Bagi mereka yang ingin berziarah atau berwisata ke makam ini tidak dipungut bayaran, kecuali di sekitar makam terdapat tabungan yang menampung sumbangan sukarela dari mereka yang berkunjung. Dana ini digunakan buat biaya perawatan pemakaman.
Ekspedisi Religi (1) Kawah Tengkurep dan Kambang Koci

Terik matahari memanggang tubuh kami menjadi makin legam. Bakda salat Jumat dengan mengendarai motor membonceng Ikhsan, temanku, kami menuju Kawah Tengkurep di di kawasan 3 Ilir, Boom Baru. Tempat ini adalah satu dari belasan komplek pemakaman yang tersebar di sudut kota dan merupakan jejak sejarah ulama dan sultan era Palembang Darussalam.
Situs pemakaman Kawah Tengkurep adalah komplek makam kesultanan Palembang Darussalam, salah satunya adalah makam Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo (w. 1756 M) beserta istri-istrinya antara lain, Ratu Sepuh (istri pertama dari Jawa Tengah), Ratu Gading (istri kedua dari Kelantan, Malaysia), Mas Ayu Ratu (istri ketiga bernama lahir Liem Ban Nio dari Cina), dan Nyai Mas Naimah (istri keempat berasal dari 1 Ilir Palembang). Ada juga guru besar beliau Habib Abdullah bin Idrus Al-Idrus yang merupakan Imam Kubur. Keenam makam tadi berada di Cungkup I.
Di Cungkup II, terdapat makam Pangeran Ratu Kamuk (w. 1755 M), beserta istrinya Ratu Mudo, dan Imam Kubur Sayyid Yusuf Al-Angkawi. Sementara di Cungku III, adalah makam Sultan Ahmad Najamuddin (w. 1776 M), istrinya Masayu Dalem, serta Imam Kubur Sayyid Abdur Rahman Maulana Tugaah.
Kemudian di Cungkup IV, terdapat makam Sultan Muhammad Bahauddin (w. 1803 M), istrinya Ratu Agung, dan Imam Kubur Datuk Murni Hadadd. Ada Beberapa makam lain yang tidak terbaca namanya  Selain makam-makam yang terlindung dalam Cungkup, di sekeliling komplek juga terdapat ratusan akam lain yang merupakan keturunan dan keluarga Sultan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

Bukit Seguntang



http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/3/3c/Buddha_Seguntang_Palembang.jpg/170px-Buddha_Seguntang_Palembang.jpg
http://bits.wikimedia.org/skins-1.18/common/images/magnify-clip.png
Arca buddha yang ditemukan di situs Bukit Seguntang, kini disimpan di Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang.

Bukit Seguntang atau kadang disebut juga Bukit Siguntang adalah sebuah bukit kecil setinggi 29—30 meter dari permukaan laut yang terletak sekitar 3 kilometer dari tepian utara Sungai Musi dan masuk dalam wilayah kota Palembang, Sumatera Selatan. Secara administratif situs ini termasuk kelurahan Bukit Lama, Kecamatan Ilir Barat I, Palembang. Bukit ini berjarak sekitar 4 kilometer di sebelah barat daya pusat kota Palembang, dapat dicapai dengan menggunakan angkutan umum menuju jurusan Bukit Besar.
Di lingkungan sekitar bukit ini ditemukan beberapa temuan purbakala yang dikaitkan dengan kerajaan Sriwijaya yang berjaya sekitar kurun abad ke-6 sampai ke-13 masehi. Di puncak bukit ini terdapat beberapa makam yang dipercaya sebagai leluhur warga Palembang. Oleh masyarakat setempat, kompleks ini dianggap keramat dan menjadi tempat tujuan ziarah. Kini Kawasan ini menjadi Taman Purbakala untuk menjaga artefak-artefak yang mungkin masih belum terungkap.
Temuan purbakala
Bukit Seguntang sebagai bukit paling tinggi di dataran Palembang tampaknya telah dianggap sebagai tempat penting sejak masa Kerajaan Sriwijaya, beberapa temuan artefak yang bersifat buddhisme menunjukkan tempat bahwa ini adalah salah satu kawasan pemujaan dan keagamaan kerajaan. Pada tahun 1920-an di lereng selatan bukit ini ditemukan arca Buddha bergaya Amarawati. Arca berukuran cukup besar ini ditemukan dalam beberapa pecahan. Bagian yang pertama kali ditemukan adalah bagian kepalanya yang langsung dibawa ke Museum Nasional di Batavia. Beberapa bulan kemudian bagian tubuhnya ditemukan, kemudian bagian kepala dan tubuhnya disatukan. Akan tetapi hanya bagian kakinya yang kini masih belum ditemukan. Arca ini mengikuti langgam Amarawati yang berkembang di India Selatan abad II sampai V masehi. Pengaruh langgam Amarawati berkembang sampai ke Kerajaan Sriwijaya melalui hubungan dagang dan keagamaan dengan India. Arca setinggi 277 cm ini dibuat dari batu granit yang banyak ditemukan di pulau Bangka, maka disimpulkan bahwa arca ini adalah buatan setempat, bukan didatangkan dari India. Diperkirakan arca ini dibuat sekitar abad VII sampai VIII masehi. Kini arca ini dipamerkan di halaman Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, dekat Benteng Kuto Besak, Palembang.
Di daerah Bukit Seguntang juga ditemukan fragmen arca Bodhisattwa. Kepala arca digambarkan dengan rambut yang tersisir rapi dengan ikatan seutas pita yang berhiaskan kuntum bunga. Di bukit ini juga ditemukan reruntuhan stupa dari bahan batu pasir dan bata, fragmen prasasti, arca Bodhisattwa batu, arca Kuwera, dan arca Buddha Wairocana dalam posisi duduk lengkap dengan prabha dan chattra. Di daerah Bukit Seguntang ditemukan pula fragmen prasasti batu yang ditulis dalam aksara Pallawa dan Bahasa Melayu Kuno. Prasasti yang terdiri dari 21 baris ini menceritakan tentang hebatnya sebuah peperangan yang mengakibatkan banyaknya darah tertumpah, disamping itu juga menyebutkan kutukan bagi mereka yang berbuat salah.
Sekitar 3 kilometer di sebelah tenggara dekat tepi sungai Musi terdapat situs Karanganyar, yang menunjukkan bekas pemukiman. Dua prasasti dari abad ke-7 ditemukan di dekatnya pada tahun 1920, berangka tahun 682 (Prasasti Kedukan Bukit) dan 684 (Prasasti Talang Tuwo). Pada tahun 1978, 1980, dan 1982 berbagai peninggalan keramik dari masa dinasti T'ang dan Sung awal diangkat dari area di lereng dan sekitar Bukit Seguntang.
Kompleks makam
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/c/cc/Bukit_Seguntang_Tombs.jpg/220px-Bukit_Seguntang_Tombs.jpg
http://bits.wikimedia.org/skins-1.18/common/images/magnify-clip.png
Kompleks makam di Bukit Seguntang, di tengah adalah makam Panglima Tuan Junjungan.
Bukit Seguntang adalah gundukan tanah yang paling menonjol di dataran kota Palembang. Bukit yang dipenuhi taman dan pepohonan besar ini dipercaya sebagai kompleks pemakaman raja-raja Melayu. Pada bagian puncak bukit terdapat beberapa makam yang menurut penduduk lokal dikaitkan dengan tokoh-tokoh raja, bangsawan dan pahlawan Melayu-Sriwijaya. Terdapat tujuh makam di bukit ini, yaitu makam:
  • Raja Sigentar Alam
  • Pangeran Raja Batu Api
  • Putri Kembang Dadar
  • Putri Rambut Selako
  • Panglima Tuan Junjungan
  • Panglima Bagus Kuning
  • Panglima Bagus Karang
Menurut kitab Sulalatus Salatin, Bukit Seguntang merupakan tempat datangnya Sang Sapurba, keturunan Iskandar Zulkarnain, yang dikemudian hari menurunkan raja-raja Melayu di Sumatera, Kalimantan Barat, dan Semenanjung Malaya. Bukit Seguntang diibaratkan sebagai potongan Gunung Mahameru dalam kepercayaan Hindu-Buddha, dan dianggap suci karena merupakan cikal bakal orang-orang Melayu. Raja yang memerintah di Malaka dikatakan sebagai keturunan Sang Sapurba.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

Makam KI Gede Ing Suro



Lokasi: Kelurahan I Ilir, Palembang
Kordinat GPS: 2°58’40.60″S, 104°47’32.62″E
Kota Palembang hingga kini masih dipercayai masyarakat Melayu sebagai tanah leluhurnya. Menurut kisah, di kota inilah hadir seorang tokoh yang menjadi cikal bakal Raja Melayu pertama yaitu Parameswara yang turun dari Bukit Siguntang. Pada saat yang bersamaan, Kerajaan Sriwijaya runtuh, maka bermunculan kekuatan-kekuatan lokal seperti Panglima Bagus Kuning di hilir Sungai Musi, Si Gentar Alam di daerah Perbukitan, Tuan Bosai dan Junjungan Kuat di daerah hulu Sungai Komering, Panglima Gumay di sepanjang Bukit Barisan. Kemudian Parameswara meninggalkan Palembang bersama Sang Nila Utama menuju Tumasik. Tanah Tumasik diberi nama Singapura oleh Parameswara.
Pada saat pasukan Majapahit akan menyerang Singapura, Parameswara bersama pengikutnya pindah ke Malaka, kemudian mendirikan Kerajaan Malaka. Beberapa keturunannya membuka negeri baru di daerah Pattani dan Narathiwat (sekarang wilayah Thailand bagian selatan). Hubungan dagang yang kuat dengan orang–orang Gujarat dan Persia menyebabkan perekonomian Malaka berkembang pesat. Kemudian Parameswara memeluk agama Islam dan mengganti namanya menjadi Sultan Iskandar Syah.
Kota Palembang menjadi kota tak bertuan, tidak ada penguasa tunggal atas kota dagang ini. Namun kegiatan perekonomian tetap berjalan. Perdagangan antarbangsa berjalan dengan baik. Di kota ini pula bermukim para pembesar dan priyayi pendukung utama Kesultanan Demak, penguasa baru tanah Jawa. Mereka menyingkir dari Demak setelah kalah perang melawan Kerajaan Pajang pada tahun 1528. Rombongan asal Demak ini dipimpin oleh Kiai Gedeng Suro atau Ki Gede Ing Suro.
Selain pembesar dan priyayi, turut serta pula pasukan yang dipimpin oleh Raden Patah. Mereka memilih Palembang sebagai tempat yang aman. Selain karena Raden Patah (bergelar Jimbun Abdurrahman Panembahan Palembang Sayyidina Panatagama) adalah bangsawan Demak kelahiran Palembang. Beliau tumbuh sejak kecil di kota ini bersama ibunya, Putri Campa.
Raden Patah, Ario Damar dan Pati Unus, adalah tokoh dibalik hancurnya Kerajaan Majapahit. Mereka dikenal dari Ekspedisi Pamalayu. Raden Patah berhasil membangun kembali Palembang setelah Kerajaan Sriwijaya secara perlahan mulai melemah. Berselang kemudian, Majapahit mulai dilanda kekacauan, pemberontakan dan pecahnya perang saudara.
Ario Damar sendiri pada saat itu adalah seorang Mangkubumi Kerajaan Sriwijaya. Beliau memeluk Islam sejak kedatangan Raden Rahmat. Menjadi seorang muslim, Ario Damar mengganti namanya menjadi Ario Abdullah, yang populer dengan sebutan Ario Dillah.
Kehadiran Ki Gede Ing Suro di kota Palembang, memicu kedatangan pemukim-pemukim muslim baru dari Demak, Pajang dan Mataram. Mereka datang ke Palembang demi menghindari konflik politik berkepanjangan di tanah Jawa.
Jumlah pemukim muslim di kota Palembang meningkat. Peluang ini dijadikan momentum untuk memperteguh pengaruh Islam di Palembang menjadi sebuah kerajaan. Pemukim muslim mendirikan masjid yang berdekatan dengan Keraton Kuto Gawang. Sejak saat itu, Islam tumbuh pesat sebagai pedoman hidup pada hampir seluruh masyarakat Palembang.
Sebuah kerajaan Islam di Palembang akhirnya resmi berdiri pada tahun 1552 secara politik dari Kesultanan Demak. Adalah Ki Mas Hindi, disebut pula Pangeran Ratu atau Pangeran Ario Kusuma Abdurrohim, yang memiliki nama lain, Susuhunan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayyidul Imam, sebagai Sultan pertama kerajaan Islam di tanah Palembang. Beliau bergelar Sultan Jamaluddin Candi Walang, atau Sultan Ratu Abdul Rahman. Kerajaan Islam ini diberi nama Kesultanan Palembang Darussalam.
Sultan Jamaluddin kemudian diganti oleh Sultan Mansyur. Beliau didampingi seorang ulama besar, Tuan Faqih Jalaluddin. Setelah Sultan Mansyur, Kesultanan Palembang dipimpin oleh Sultan Mahmud Badaruddin, yang dikenal pula sebagai Sultan Lemah Abang.
Kesultanan Palembang Palembang Darussalam menggabungkan kebudayaan maritim peninggalan Sriwijaya dan budaya agraris Majapahit. Palembang kemudian berkembang menjadi pusat perdagangan yang paling besar di Semenanjung Malaka.
Hadirnya Kesultanan Palembang Darussalam ini menjadi lembaran baru bagi kota Palembang sejak keruntuhan Sriwijaya. Hukum Islam diterapkan dalam aturan tatanegara dan ekonomi.
Ki Gede Ing Suro merupakan tokoh utama dibalik berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam. Setelah wafat pada tahun 1587, beliau dimakamkan di sebuah daerah yang kini berada di Kelurahan I Ilir, kota Palembang. Setelah beliau dimakamkan, berturut-turut dimakamkan para pembesar Demak lainnya dan keluarganya, hingga mencapai 38 makam. Kompleks pemakaman ini kemudian dikenal sebagai Taman Purbakala Ki Gede Ing Suro.
Kompleks makam berupa bangunan fondasi yang terdiri dari tiga bangunan utama. Bangunan pertama memiliki luas 54 meter persegi, dengan tinggi 1,2 meter. Bangunan ini berdiri diatas dua lapik, lapik pertama berukuran 7 meter x 3,7 meter. Lapik kedua berukuran 16 meter x 11 meter. Diatasnya berdiri batur dengan tangga masuk yang berada di sisi selatan. Pada dinding batur terdapat panil berbentuk bujursangkar berpola hias geometris. Pada teras makam terdapat dua nisan dari kayu persegi pipih.
Bangunan kedua memiliki ukuran 8,45 meter x 5 meter dengan tinggi 90 sentimeter. Berdiri diatas satu lapik. Pola hias tangga sama dengan bangunan pertama. Disini terdapat tiga makam, dua makam di sisi utara, dan satu makam di sisi selatan. Jirat makam di sisi selatan berbentuk persegi panjang. Nisan makam terbuat dari batu andesit, puncaknya berbentuk kurawal dengan ujung meruncing.
Bangunan ketiga adalah yang terbesar, memiliki ukuran 8,75 meter x 9 meter. Memiliki teras berukuran 12,5 meter x 11,5 meter. Hiasan bangunan utama berupa ukiran bunga dan geometris. Pada teras hiasannya berupa sulur. Diatas bangunan terdapat tiga nisan makam yang bentuknya sama dengan bangunan kedua.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya


Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/0/02/Taman_Purbakala_Kerajaan_Sriwijaya_-_Pendopo_Utama.jpg/300px-Taman_Purbakala_Kerajaan_Sriwijaya_-_Pendopo_Utama.jpg
http://bits.wikimedia.org/skins-1.18/common/images/magnify-clip.png
Pendopo utama berbentuk bangunan Limasan di tengah-tengah pulau Nangka. Pendopo ini menyimpan replika Prasasti Kedukan Bukit.

Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya atau sebelumnya dikenal dengan nama Situs Karanganyar adalah taman purbakala bekas kawasan permukiman dan taman yang dikaitkan dengan kerajaan Sriwijaya yang terletak tepi utara Sungai Musi di kota Palembang, Sumatera Selatan. Di kawasan ini ditemukan jaringan kanal, parit dan kolam yang disusun rapi dan teratur yang memastikan bahwa kawasan ini adalah buatan manusia, sehingga dipercaya bahwa pusat kerajaan Sriwijaya di Palembang terletak di situs ini. Di kawasan ini ditemukan banyak peninggalan purbakala yang menunjukkan bahwa kawasan ini pernah menjadi pusat permukiman dan pusat aktivitas manusia.
Lokasi
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/6/6f/Taman_Purbakala_Kerajaan_Sriwijaya_-_Pulau_Cempaka.jpg/220px-Taman_Purbakala_Kerajaan_Sriwijaya_-_Pulau_Cempaka.jpg
http://bits.wikimedia.org/skins-1.18/common/images/magnify-clip.png
Pulau Cempaka, pulau buatan berbentuk bujur sangkar di tengah-tengah kolam.


Secara administratif, situs Karanganyar terletak di Jalan Syakhyakirti, Kelurahan Karanganyar, Kecamatan Gandus, Palembang. Terletak pada dataran aluvial pada meander Sungai Musi berhadapan dengan pertemuan sungai Musi dengan sungai Ogan dan Kramasan. Belahan utara Sungai Musi sudah sejak lama diketahui sebagi lokasi sejumlah situs arkeologi yang berasal dari abad ke-7 hingga ke-15 masehi, diantaranya adalah situs Kambang Unglen, Padang Kapas, Ladang Sirap, dan Bukit Seguntang yang terletak dekat dengan situs Karanganyar.
Situs Karanganyar pada umumnya memiliki ketinggian kurang dari 2 meter dari permukaan sungai Musi. Berada sekitar 4 kilometer di sebelah barat daya pusat kota Palembang, tepatnya di sebelah selatan Bukit Seguntang. Taman Purbakala ini dapat dicapai dari pusat kota Palembang dengan kendaraan umum menuju jurusan Tangga Batu.
Situs Karanganyar terbagi atas tiga subsitus, yaitu subsitus Karanganyar 1, 2, dan 3. Yang terbesar adalah subsitus Karanganyar 1 berupa sebuah kolam berdenah empat persegi panjang membujur arah utara-selatan berukuran 623 x 325 meter. Di tengah kolam ini terdapat dua pulau, yaitu Pulau Nangka dan Pulau Cempaka. Pulau Nangka berukuran 462 x 325 meter, sedangkan Pulau Cempaka berukuran 40 x 40 meter. Pulau Nangka dikelilingi parit-parit berukuran 15 x 1190 meter. Subsitus Karanganyar 2 terletak di sebelah barat daya kolam 1 dan merupakan kolam kecil, ditengahnya terdapat pulau kecil berdenah bujur sangkar dengan ukuran 40 x 40 meter. Subsitus Karanganyar 3 berada di sebelah timur subsitus Karanganyar 1 dengan denah bujur sangkar berukuran 60 x 60 meter.
Ketiga subsitus tersebut dihubungkan oleh parit yang berjumlah tujuh buah. Parit 1 merupakan parit terpanjang, yaitu 3 kilometer dengan lebar 25 sampai 30 meter. Parit ini oleh penduduk setempat dinamai parit Suak Bujang. Sejajar dengan parit 1 terdapat parit 2 dengan panjang 1,6 kilometer. Parit ini terletak di sebelah selatan subsitus Karanganyar 1 dan 3. Ujung parit ini berasal dari subsitus Karanganyar 2, sedangkan ujung timurnya bernuara di sungai Musi. Parit 1 dan 2 dihubungkan dengan parit 3 yang terletak di antara subsitus 1 dan 3. panjang parit 3 sekitar 700 meter membujur utara-selatan. Masih ada parit lain yang sejajar dengan parit 3, yaitu parit 4 dan 5 yang terletak di sebelah barat subsitus 1. Ujung selatan parit 4 dan 5 berakhir di parit 2. Dari parit 2 terdapat dua buah parit yang ujung selatannya bermuara di sungai Musi, yaitu parit 6 dan 7.

Temuan purbakala
Di lokasi yang dipercaya sebagai sisa taman kerajaan masa Sriwijaya ini dijumpai artefak yang menampakkan aktivitas keseharian masyarakatnya, seperti manik-manik, struktur batu bata, damar, tali ijuk, keramik, dan sisa perahu. Temuan-temuan tersebut diperoleh saat pembangunan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya maupun melalui kegiatan penyelamatan temuan di sekitar kawasan ini. Rekonstruksi atas fragmen keramik yang banyak ditemukan memperlihatkan adanya penggunaan, tempayan, guci, buli-buli, mangkuk, dan piring. Sedangkan berdasarkan rekonstruksi dari sisa gerabah menunjukkan pemanfaatan berbagai bentuk tungku atau anglo, kendi, periuk, tempayan, pasu, dan bahkan genteng. Kumpulan temuan-temuan ini menunjukkan betapa padatnya aktivitas keseharian masyarakat yang hidup di kawasan ini pada masa lalu.
Situs ini utamanya menampilkan struktur bangunan air berupa kolam, pulau buatan, dan parit yang keberadaannya menjadi bukti kehadiran manusia yang menetap dalam jangka waktu yang cukup lama. Diperkirakan penduduk yang dulu menghuni kawasan Karanganyar menggali kanal atau parit seperti parit Suak Bujang, baik untuk saluran drainase tata air penangkal banjir maupun sebagai sarana transportasi untuk menghubungkan daerah-daerah pedalaman di sekitar situs dengan sungai Musi.
Pada tahun 1985 dilakukan penggalian arkeologi dan berlanjut pada tahun 1989. Dari penggalian ini ditemukan banyak temuan pecahan tembikar, keramik, manik-manik, dan dan struktur bata. Berdasarkan hasil analisis keramik-keramik China yang ditemukan di kawasan ini berasal dari dinasti Tang (abad VII-X M), Sung (abad X-XII M), Yuan (abad XIII-XIV M), dan dinasti Qing (abad XVII-XIX M) yang umumnya terdiri dari tempayan, buli-buli, pasu, mangkuk, dan piring. Sedangkan penggalian yang dilakukan di Pulau Cempaka berhasil menampakkan kembali sisa bangunan berupa struktur bata pada kedalaman 30 cm dengan orientasi timur-barat.
Selain jejaring kanal, kolam dan struktur bata, di situs ini tidak ditemukan bekas peninggalan bangunan candi atau bekas istana yang signifikan. Hal ini berbeda dengan situs Muaro Jambi yang memiliki peninggalan berupa bangunan candi berbahan bata merah. Para ahli arkeologi berpendapat bahwa sedikitnya temuan bangunan karena lokasi situs ini. Sriwijaya merupakan kerajaan maritim yang berada di tepian sungai dan hutan lebat di Sumatera. Karena tidak terdapat gunung berapi yang menyimpan batu, bangunan peribadatan, istana, dan rumah-rumah penduduk dibuat dari kayu atau bahan bata. Akibatnya, bangunan cepat rusak hanya dalam hitungan paling lama 200 tahun. Ditambah lagi dengan tingginya tingkat kelembaban serta kemungkinan banjir rutin dari luapan sungai Musi di dekatnya yang dengan mudah dapat merusak bangunan kayu dan bata.

Pembangunan taman purbakala
Berdasarkan interpretasi dan temuan dari foto udara tahun 1984 menunjukkan bahwa situs Karanganyar menampilkan bentuk bangunan air, yaitu jaringan kanal, parit, kolam serta pulau buatan yang disusun rapi. Dapat dipastikan situs ini adalah buatan manusia. Bangunan air ini terdiri atas kolam dan dua pulau berbentuk bujur sangkar dan empat persegi panjang, serta parit dengan luas areal meliputi 20 hektar. Serangkaian kanal, pulau buatan, dan bagian-bagian lainnya menampilkan situs Karanganyar sebagai karya arsitektur lansekap yang berkaitan dengan bangunan air.
Oleh pemerintah Sumatera Selatan kawasan ini dipugar, kanal-kanalnya dirapikan untuk dijadikan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya yang diresmikan oleh presiden Suharto pada tanggal 22 Desember 1994. Di dalam taman purbakala ini terdapat Museum Sriwijaya, yaitu pusat informasi mengenai situs dan temuan Sriwijaya di Palembang . Pada bagian tengah situs ini terdapat pendopo berarsitektur rumah limas khas Palembang yang ditengahnya disimpan replika Prasasti Kedukan Bukit dalam kotak kaca. Prasasti ini menceritakan mengenai perjalanan Siddhayatra Dapunta Hyang yang dianggap sebagai tonggak sejarah berdirinya kemaharajaan Sriwijaya. Setelah lebih dari satu dasawarsa didirikan, fungsi Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya sebagai Pusat Informasi Sriwijaya dan sebagai daya tarik wisata budaya di Palembang masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Sebagian besar masyarakat Palembang sekarang masih belum mengetahui keberadaan taman purbakala ini sebagai peninggalan masa Sriwijaya, apalagi sebagai pusat informasi tentang Sriwijaya. Selama ini Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya kurang mendapat perhatian dari pemerintah dan masyarakat. Sayang sekali kini kompleks taman purbakala ini terbengkalai dan kurang terawat.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0